detik.com - Selasa, 25 Agustus 2009
Surabaya - Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) mendapatkan pertentangan
dari akademisi. Jembatan itu dinilai tidak memiliki nilai tambah sehingga pembangunan jembatan sepanjang lebih dari 30 kilometer itu sebaiknya dipikirkan lagi.
Pembangunan jembatan itu dinilai lebih memiliki nilai gengsi daripada nilai fungsional.
"Seperti Sidney Opera Hall yang tidak lagi terpakai. Saya takutkan nanti seperti ikon Australia itu," kata pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Johan Silas dalam seminar Jembatan selat sunda: Blunder atau Terobosan Teknologi? Tantangan Negara Kepulauan di ITS, Jalan Sukolilo, Selasa (25/8/2009).
Contoh yang dimaksud oleh Johan menggambarkan bahwa Sidney Opera Hall yang semula bertujuan untuk pementasan opera dan menghabiskan dana yang sangat besar ternyata saat ini tidak sesuai harapan. Saat ini gedung itu malah menjadi ikon yang tidak memiliki nilai positif.
Ia memaparkan bahwa JSS itu tidak memberikan pertambahan nilai saja dan lebih merupakan prestige bangsa ini. Ia menyarankan agar lebih baik memperbaiki kapal yang menghubungkan Jawa-Sumatera yang saat ini masih belum optimal.
Pertimbangan ini didasarkan bila kapal lebih baik maka akan terjadi perkembangan ekonomi dan lebih efektif dibandingkan jembatan. Jembatan tidak bisa memberikan nilai tambah pada lingkungan sekitarnya.
Sementara itu pakar hukum perairan internasional Universitas Hang Tua, DR Dhiana T Wardana menyatakan bahwa Selat Sunda merupakan perairan lalu lintas internasional. Sehingga apabila nanti dibangun jembatan akan mempersulit lalu lintas internasional.
Hal ini bila melihat fungsi perairan internasional itu juga termasuk lalu lintas kapal perang yang juga kapal selam dan kapal induk. Belum lagi peraturan tentang perairan internasional yang semakin menebalkan sikap pesimis terhadap jembatan ini.
Peraturan itu menuliskan bahwa selat yang merupakan jalur internasional yang
bisa dilewati berbagai jenis kapal. Dengan kata lain, tinggi JSS harus lebih tinggi dari tinggi kapal induk atau harus lebih tinggi dari 140 meter dari permukaan laut.
"Ini konyol dan mana mungkin membangun jembatan setinggi itu? Seperti membangun di atas awan-awan," tambahnya.
Pertimbangan lain juga diutarakan oleh pakar jembatan Teknik Sipil ITS, Prof Herman Wahyudi. Ia mengkhawatirkan konstruksi yang digunakan oleh JSS yang dekat dengan Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. Artinya berbeda dengan Suramadu yang daerah sekitarnya tidak terdapat gunung berapi.
Konstruksi jembatan, lanjutnya, harus bisa menahan gempa dan harus bisa mengantisipasi bila terjadi letusan Gunung Anak Krakatau. "Ini harus dicarikan solusinya," ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar